Kiamat Makin Dekat! Buktinya Serangga Sudah Mulai Menuju Punah
Keberadaan serangga di dunia sedang tidak baik-baik saja. Kendati serangga masih mudah dijumpai di sekitar kita, namun menurut ilmuwan asal University of Sidney, Francisco Sánchez-Bayo dan Kris A.G. Wyckhuys dari China Academy of Agricultural Sciences CAAS, serangga mengalami ancaman serius.
Dalam jurnal berjudul “Worldwide Decline of the Entomofauna: A Review of Its Drivers” (2019) yang diterbitkan Biological Conservation, mereka menyebut bahwa ada kecenderungan penurunan populasi serangga dalam jumlah besar sehingga bisa menuju pada kepunahan.
Berdasar tinjauan dari 73 laporan historis tentang penurunan serangga di berbagai belahan dunia, analisis dua peneliti ini menyimpulkan: ada lebih dari 40 persen spesies serangga yang terancam punah dalam beberapa dekade ke depan. Lepidoptera (kupu-kupu, ngengat), hymenoptera (tawon, lebah, semut), hingga kumbang kotoran adalah spesies serangga yang paling terancam kepunahan.
Penyebab utama penurunan populasi serangga adalah hilangnya habitat karena alih fungsi lahan ke pertanian intensif serta urbanisasi. Faktor-faktor penyebab lain adalah penggunaan pestisida dan pupuk sintetis, juga faktor biologis termasuk patogen dan spesies invasif, dan terakhir karena pengaruh perubahan iklim.
Merosotnya populasi serangga ini terjadi di banyak tempat, seperti seperti Jerman, Puerto Rico, Inggris bagian selatan, Amerika Utara, dan kawasan Eropa lainnya. Meski penelitian ini lebih banyak menunjukkan populasi serangga di negara-negara maju terutama di kawasan belahan bumi utara (karena faktor ketersediaan data yang lebih lengkap), namun penelitian tersebut bisa dibaca bahwa secara global, populasi serangga diduga kuat mengalami penyusutan.
"Kesimpulannya jelas: kalau manusia tidak mengubah cara memproduksi makanan, spesies serangga akan menuju kepunahan dalam beberapa dekade ke depan," tulis dua peneliti ini.
Betapa Pentingnya Serangga Bagi Manusia
Keberadaan serangga vital bagi ekosistem planet bumi. Mereka adalah penyerbuk, pengontrol hama, juga pengelola limbah. Selain itu, serangga adalah makanan bagi para burung, reptil, mamalia, dan ikan. Jika dibiarkan, hilangnya serangga akan berdampak sangat serius pada kehidupan sehari-hari dengan cara yang hampir tidak terbayangkan, termasuk pada manusia.
Hancurnya ekosistem dan populasi serangga dapat diartikan malapetaka bagi keberlangsungan makhluk hidup di bumi termasuk manusia yang dikait-kaitkan dengan proses kepunahan massal.
“Kita mengalami kepunahan massal keenam di bumi. Jika kita menghancurkan serangga yang merupakan dasar ekosistem, maka kita menghancurkan semua hewan lain yang bergantung padanya sebagai sumber makanan,” ujar Bayo dikutip dari situs University of Sidney.
“Itu membuat hancur semuanya, dan itulah mengapa kami pikir ini adalah realitas.”
Senada dengan kekhawatiran Bayo, Don Sands, ahli entomologi dan pensiunan Organisasi Riset Ilmiah dan Industri Persemakmuran di Australia, menyebut bahwa efek penurunan serangga memang mengkhawatirkan dan berbahaya lantaran sangat mempengaruhi ekosistem makhluk hidup secara keseluruhan.
"(Serangga adalah) makhluk kecil yang menjalankan dunia," kata Sand untuk menggambarkan betapa pentingnya keberadaan mereka.
Di daerah tropis seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia, faktor perubahan iklim sangat berpengaruh bagi ekosistem serangga. Berbagai penelitian tentang merosotnya populasi serangga, kembali mengingatkan dengan keras bahwa manusia harus memikirkan ulang praktik pertanian yang serba memakai pestisida, dan menggantinya ke praktik yang lebih ramah lingkungan. Restorasi habitat, seperti menanam bunga agar mengundang serangga penyerbuk, juga dirasa perlu untuk membantu membendung laju penurunan populasi serangga.
Sebenarnya, laporan mengenai penurunan populasi serangga bukan hal baru. Pada 2017, laporan Caspar Hallman dari Radboud University di Belanda beserta rekan-rekannya menemukan bahwa populasi serangga terbang di cagar alam di Jerman menurun lebih dari 75 persen selama 27 tahun terakhir. Laporan ini bahkan bisa lebih mengkhawatirkan dari temuan Bayo dan Wyckhuys yang menyebut penurunan serangga bahkan tetap terjadi di kawasan cagar alam yang relatif bebas dari manusia.
Brad Lister, profesor biologi di Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika Serikat, juga memberi peringatan yang sama. Di hutan hujan Luquillo di Puerto Rico, populasi serangga yang jadi makanan burung telah merosot drastis dalam 35 tahun terakhir. Sekitar 98 persen serangga yang tinggal di darat, telah lenyap. Sedangkan serangga yang hidup di dahan dan dedaunan, 80 persennya sudah hilang. Menurut Brad, penyebab utama kondisi ini adalah pemanasan global.
"Kita benar-benar menghancurkan penopang kehidupan yang membantu manusia dan mahluk hidup lain tetap ada di planet ini," ujar Brad pada The Guardian. "Rasanya mengerikan melihat bagaimana manusia menghancurkan alam seperti ini."
Kiamat Keenam Makin Dekat?
Bumi dan isinya pernah mengalami lima kali kepunahan massal. Kepunahan massal pertama terjadi pada periode Ordovician sekitar 445 juta tahun yang lalu. Pada periode pertama ini, kepunahan disebabkan oleh pendinginan global dan penurunan muka air laut yang membunuh 85 persen spesies di bumi.
Kepunahan kedua terjadi sekitar 340 juta tahun lalu saat periode Devonian. Karena jatuhnya asteroid dan pendinginan global, sekitar 70 persen spesies lenyap.
Sedangkan kepunahan ketiga terjadi di akhir era Permian, sekitar 251 juta tahun lalu. Penyebabnya dipicu oleh erupsi di sekitar Siberia, yang menyemburkan CO2, dan berujung terbentuknya gas rumah kaca, naiknya metana dan suhu bumi, serta udara yang beracun. Ilmuwan menyebutnya sebagai "the great dying", yang menyebabkan 96 persen spesies di bumi punah dan menyebabkan kehidupan di bumi nyaris berakhir.
"Kejadian ini membuat kehidupan mundur lagi sejauh 300 juta tahun," ujar Rolf Schmidt, paleontologis Melbourne Museum.
Naiknya kandungan metana dan CO2 juga mengawali periode kepunahan keempat di periode Triassic pada 200 juta tahun yang lalu. Tingkat kematian spesies mencapai 76 persen. Kepunahan kelimat terjadi 65 juta tahun lalu, dengan tingkat kepunahan 80 persen dari spesies. Kejadian kelima yang disebabkan oleh jatuhnya asteroid, aktivitas vulkanik, serta menurunnya permukaan air laut inilah yang menyebabkan dinosaurus punah.
Ilmuwan meyakini bahwa kepunahan massal keenam saat ini sedang berlangsung. Merujuk pada penelitian Gerardo Cabellos dkk berjudul “Accelerated Modern Human–induced Species Losses: Entering the Sixth Mass Extinction” (2015), dalam beberapa abad terakhir, perilaku manusia telah mempengaruhi tingkat kepunahan vertebrata, mulai dari mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi.
Kebanyakan kepunahan telah terjadi dalam 114 tahun terakhir atau sejak tahun 1900-an. Ada 468 spesies yang dinyatakan punah, terdiri dari: 69 spesies mamalia, 80 spesies burung, 24 reptil, 146 amfibi, dan 158 ikan.
Penyebab kepunahan massal keenam kali ini tidak jauh-jauh dari seputar perusakan lingkungan. Mulai dari perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan polusi udara. Tetapi penyebab utama munculnya faktor-faktor tersebut adalah manusia yang ruwet dalam memenuhi segala kebutuhan.
Manusia, meski jumlahnya kini mencapai sekitar 7,6 miliar di bumi, secara kuantitas hanya mencakup 0,01 persen dari total semua makhluk hidup yang ada di darat, laut, dan udara. Namun, meski minoritas, umat manusia telah menyebabkan hilangnya 83 persen mamalia liar dan setengah dari semua jenis tanaman yang pernah ada.
Jika begini terus, memang kita sedang perlahan menuju kepunahan keenam.
Sumber
Comments
Post a Comment